Kamis, 07 April 2011

Ketika Aku Dirawat Disamping Pemuda Koptik



Hepatitis A yang meringkuki tubuhku dua minggu sebelum Ramadhan pada tahun 2008, memaksa dokter khusus penyakit dalam RS Rab`ah Adawiyah, Nasr City, merujukku ke sebuah RS di kawasan Abbasea, Kairo-Mesir. RS Ummayat namanya, barangkali tidak banyak dari WNI yang tahu dengan RS itu. Terlebih letaknya yang agak tersembunyi dan terutup. Kalau dilihat sekilas dari tepi jalan tidak ada tanda-tanda RS disitu. Yang bakalan tampak hanya seruas lorong kecil dan sempit ke sana. Namun, jika lorong itu ditelurusi, maka orang akan tahu kalau disitu ada RS yang cukup luas di tengah jalur tersibuk di Kairo. RS itu tidak jauh berbeda dengan di Tanar Air, bedanya cuma terletak pembagian kamar dan ruang rawat. Kalau di tanah air kebanyakan ruang rawat VIPnya satu gedung dengan ruangan lainnya, maka di RS itu ruang VIP disediakan berbentuk rumah-rumah pribadi dengan berbagai ukuran.

Rimbunnya jejeran pepohon di lingkungan RS itu semakin meyakinkan kalau tempat itu adalah zona penyembuhan. Di bawah pohon-pohon nan rimbun itu, terletaklah juga sejumlah kursi persegi panjang untuk duduk santai, makan dan bercengkaramanya para pasien berserta keluarga. Terkadang, kursi itu kerap juga digunakan untuk ranjang tidur di malam hari, sebab udaranya yang sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi semakin membuat orang betah berdiam lama di bawah pohon-pohon itu.

Aku yang dirawat pertengahan musim panas saat itu cukup terbantu dengan rimbunnya perpohonan itu. Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana sumpek dan pengapnya ruang rawat RS itu kalau tidak ada pepohonan yang mengitarinya. Aku dirawat dalam sebuah ruang berukuran panjang yang diisi oleh 10 pasien. Jadi kalau semua pasien kedatangan tamu atau keluarganya ruang itu bisa dibilang bak pasar ikan saja. Ribut dan penuh cerita, khas dengan bahasa Arab Ammiyahnya para tamu pasien. Kalau sudah begitu aku biasanya main keluar dan duduk dibawah pohon itu sambil makan nasi atau buah. Aku juga sering menghabiskan waktuku disitu bercengkrama dengan pasien lainnya, notabenenya warga Mesir.

Aku masih ingat, aku ketika masuk pertama kali ke RS itu, dua hari sebelum masuk bulan Ramadhan 1429 H. Aku sampai ke situ kira-kira-kira pukul: 12.00 CLT malam dengan menyewa sebuah taksi klasik ala Mesir atau India, berwarna hitam dan putih. Malam itu, aku ditemani oleh kakak kelasku, yang awalnya cukup bingungan dan cemas, bagaimana bisa sampai ke RS itu? Sebab dia sendiri tidak berpengalaman soal rujuk merujuk pasien dari satu RS dan RS lainnya, di luar negeri lagi. Berbekal secarik kertas dokter RS Rabb`ah Adawiyah dengan khat Riq`ahnya yang sulit dicerna itu akhirnya kami bertanya kian kemari. Walhasil, dari sekian taksi yang kami sodorkan secarik kertas bebercakan tulisan khas dokter Timur Tingah itu tidak ada nggeh mengenai alamat itu. Cukup aneh memang. Sampai akhirnya sebuah taksi yang seorang kakek tua mengetahui alamat yang kami maksudkan dan siap mengantar dengan imbalan lima belas pound Mesir.

Cuma menempuh perjalanan lebih kurang sepuluh menit dari Rab`ah Adawiyyah-Abbasea, kami pun akhirnya sampai di gerbang RS Ummayat. Penerang di mulut RS itu tidak terlalu kuat, sehingga petugas yang dinas malam itu tidak terlalu tampak dari emparan jalan kami berhenti. Nyaris tidak ada aktivitas yang mencolok malam itu, di depan gerbang. Sunyi dan sepi bergabung dengan kegelapan malam itu dengan sedikit cahaya lampu 10 watt. Jarak dari kantor administrasi ke ruang rawat ada sekitar 10 meter lebih. Aku perhatikan nyaris tanpa penerang sedikitpun kecuali cahaya lampu di gerbang dan ruang rawat di ujung sana. Malam itu pun kami diantarkan menggunakan senter petugas yang berjaga malam.

Terkadang kalau diingat-ingat, malam itu cukup serem dan mencemaskan. Bagaimana bisa aku, mahasiswa Indonesia, bisa terdampar di kawasan penyembuhan rakyat Mesir. Fasilitas RS disitu sangat minim sekali, pertama kali datang saja aku sudah mulai tidak kerasan. Terlebih adiministrasinya yang bikin aku geleng-geleng kepala, dan bikin sebel malam itu. Aku sebenarnya ingin sekali di rawat di RS Rab`ah Adawiyyah saja kendatipun harus merogoh banyak kocek, tapi  pihak RS tidak mengizinkan. Setelah lama dirawat, aku baru tahu, kalau penyakit yang aku derita dapat menular ke orang lain. Oleh karena itu kali pihak RS bersikukuh merujukku ke RS Ummayat itu. Sebab disanalah lokasi dirawatnya pasien-pasien yang menderita penyakit sama denganku.

Malam itu, aku benar-benar terasa antara hidup dan mati saja. Dapat dikatakan sekarat, sebab tidak bisa apapun, untuk bicara saja aku sudah kepayahan. Sedihnya hidupku malam itu. Sebab sudah empat hari, tidak satu makanan pun yang betah menemani perutku. Setiap aku mencoba mengkonsumsi sesuatu, pasti aku muntahkan lagi. Betapa lapar dan sakitnya perutku malam itu. Setelah dipapah dari ruang administrasi ke ruang rawat, seorang perawat pun memberiku seplastik kecil obat yang harus aku minum sebelum tidur. Bagaimana bisa minum obat, sementara isi perutku saja tidak ada. Untung saja malam itu, teman-temanku sudah cukup ramai datang ke RS, dan diantara mereka ada yang berinisiatif membelikanku roti coklat. Alhamdulillah, roti itu keluar lagi dari perutku.

Kendatipun sudah makan roti coklat dan obat, tidak membuatku berhenti mengarang kesakitan malam itu. Tidak tahu, berapa banyak air mata yang aku teteskan malam itu, menahan sakit. Cuma pulang ke Tanah Air yang ada di pikiranku, ketika berbaring di ranjang rawat RS Ummayat itu. Aku harus memberitahu keluarga mengenai keadaanku, biar aku bisa disuruh pulang. Aku merasa tersiksa kalau mesti terus dirawat di RS itu.

Hatiku meronta-ronta sehingga membuat tidak betah dengan ruang rawat yang sangat padat dan gelap itu, yang sama sekali tidak mencerminkan RS menurutku. Tidak hanya itu, aku yang minta diinfus lantaran tidak mengkonsumsi apapun selama empat hari malah dicuekin. Jangan infus, tonggak buat nyangkutin infus saja tidak terlihat mengisi di ruangan itu. Aduh…, betapa sedih dan berlinangnya mataku malam itu. Mengarang menahan sakit, jauh dari keluarga dan mesti dirawat di RS orang Mesir. Lengkap sudah penderitaanku terasa. Aku merasa sangat asing dan sangat khawatir dengan orang-orang di sekitarku. Apalagi tidak seorang pun yang diizinkan menemaniku. Kalau pun ada yang menunggu, dia harus berjaga di luar ruang.

Saat  aku datang, semua pasien terlihat sudah tertidur lelap. Cuma ada suara seorang kakek tua dari sudut kiri ruangan itu. Dari suara yang kudengar, aku perkirakan suara keluar itu sebagai ekspresi dari sakit yang ia derita. Dia juga tampak sendirian, tidak ada seorang pun yang menemaninya. Sepuluh ranjang tersedia pun sudah penuh dengan kedatanganku. Tidak tahu berapa lama telingaku harus menemani suara rintihan kakek Mesir ketika itu, tahu-tahu aku pun terlelap dan berjumpa dengan subuh.

Menjelang subuh, semua lampu pun hidup. Tidak lama para semua pasien bangun. Saat itulah, semua pasien di ruang itu pun mulai menatap dan memplototi wajahku tiada henti. Mereka tampak aneh, dan kaget. Tapi, pagi itu aku bagaikan seorang artis hollywood saja, banyak yang mendekati ranjangku, bertanya dan berkenalan denganku. Dari bahasa Arab Amiyyah yang berjatuhan ke telingaku, dapat aku perkirakan kalau sebagian besar mereka bukan penduduk asli kota Kairo. Bahasa Amiyyah yang mereka keluarkan cukup berbeda dengan penduduk asli Kairo yang sudah sering aku dengar. Mungkin itu juga yang memicu mereka terheran-heran melihat kehadiranku di tengah-tengah komunitas mereka.

Kendatipun demikian, semuanya baik dan ramah padaku. Mereka juga ingin selalu berkhidmah dan menghiburku. Terlebih kalau aku lagi sendirian, mereka pasti akan mengajakku bercengkrama dan bercerita. Barangkali saja dia tahu bagaimana perasaanku dan isi hatiku di keliling oleh orang-orang yang satu warga negara dengan mereka. Kalau mereka dibesuk,, hampir semuanya ingin menjamuku makan dengan keluarga mereka. Kalau aku tidak mau, pasti mereka mengantar dan meletakkan makanan bagian untukku di atas mejaku. Kendatipun tidak keluarga kandungku, aku merasa diperlakukan layak keluarga kandung mereka. Mengharukan.

Aku barangkali cukup beruntung saat dirawat dua tahun silam. Kendatipun tidak ditemanin oleh keluarga terdekatku, aku masih punya kakak seflatku dan pasien-pasien lainnya yang sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri. Walaupun terkadang aku kerap cemas kalau lagi sendirian, karena mereka semua orang Mesir, sementara aku orang Indonesia. Jadi wajar saja, kalau rasa takut bisa-bisa saja setiap saat menggelayuti jiwaku.

Kakak se-flat-ku baru datang ketika sore, dan pulang lagi di pagi hari. Kalau malam hari biasanya dia tidur di kursi panjang yang banyak berjejeran di bawah pohon. Namun, karena dingin aku kerap menyuruhnya tidur di sampingku. Walaupun bersempit-sempit dan sering terusik bangun oleh teguran para perawat menjelang pagi, tidak sedikitpun membuatku jera mengajaknya. Aku takut kalau dia tidur di luar, sementara angina dan cuaca Mesir kerap tidak menentu, bisa-bisa saja membuatnya jatuh sakit. Kalau dia sakit, siapa lagi yang menemaniku? Aku merasa sangat berutang budi padanya, ia juga selalu berdoa semoga Allah membalasi semua kebaikannya padaku. Amien.

Bertemu dengan Pemuda Kristen Ortodok Koptik

Tanpa aku sadariku ternyata sudah seminggu saja aku dirawat inap di RS Ummayat itu. Pasien-pasien pun sudah berganti, hanya tinggal beberapa wajah lama, ketika pertama aku datang, seminggu yang lewat. Beberapa ranjang pun terlihat ada yang kosong, yang bakalan digunakan sebagai ranjangnya para keluarga pasien. Tidak berselang, tepat malam seminggu aku dirawat tiba-tiba ada seorang pasien baru datang. Pasien yang baru datang itu sangat mengkhawatirkan, lunglai dan terlihat sangat pucat. Ketika datang untuk bicara saja dia agak terbata-bata apalagi buat berjalan ke sana kemari. Dilihat dari sisi umur, aku perkirakan umur pemuda Arab itu tidak berselisih jauh denganku. Barangkali postur tubuhnya saja yang sedikit tinggi dariku.

Sejak pertama dirawat di ruang itu, sebagian waktunya dihabiskan untuk berbaring di atas ranjang. Dia bangun sekali-kali, dan duduk untuk beberapa saat sembari diganjal dengan bantal oleh keluarga yang membesuknya. Biasanya kalau malam, semua keluarganya pulang sehingga tidak seorangpun yang menjaga di RS. Kalau pun mereka datang, biasanya hanya mengantarkan makanan, pakaian dan membersihkan peralatan sehari-hari pemuda itu. Saat itu saja aku bisa melihatnya bisa bicara dan bercengkrama dengan orang lain. Aku kasihan padanya dengan kondisinya yang sangat lemah itu. 

Suatu pagi, ketika aku lagi asyik memanaskan badan melalui cahaya matahari pagi, tiba-tiba aku meliha pemuda tadi keluar dari WC, yang berada di luar ruangan. Ia terlehat sangat letih, ia berjalan tertatih-tatih sembari memegang dinding. Barangkali dengan gerakan seperti itu juga ia berhasil sampai ke WC sendirian. Namun pagi itu, tampaknya ia tidak kuat lagi kembali sendirian ke ranjangnya, tanpa pikir panjang aku pun bergegas menghampirinya. Awalnya pemuda itu menolak bantuanku, tapi aku terus memaksanya, sebab aku sangat mengkhawatirkan kondisinya.

Akhirnya, aku pun berhasil memapahnya menuju ranjangnya. Saat memapah itulah aku melihat tatto salip yang berada di bagian atas telapak tangannya. Tanda salip berukuran kecil dan sisinya sama panjang, berbeda dengan salip yang biasa aku lihat di atas gonjong gereja. Dari situlah aku tahu, pemuda di bersebalah ranjang rawat denganku itu adalah seorang umat Kristen Ortodoks Koptik. Ketika melihat salip itu, tidak terbesit di benakku untuk melepaskan papahanku padanya. Aku justru memilih untuk tetap diam sementara waktu, dan terus memapahnya hingga terbaring kembali di ranjang. Aku tidak merasa rugi menolong pemuda itu, kendatipun aku sudah tahu kalau ia adalah seorang Kristen Koptik. Setidaknya dia dapat menilai bahwa orang Islam di negaranya dan di luar adalah sama-sama baik dan toleran atas perbedaan agama.

Setelah sampai di ranjangnya dia pun tidak lupa mengucapkan, "syukron" –terimakasih- kepadaku, layaknya orang-orang Arab lainnya. Aku menimpalinya sembari menanyakan apa yana dapat aku perbuat baginya menggunkan bahasa Amiyyah, "Afwan, fî haga tani?" Dia pun memberikan isyarat dengan tangannya, cukup, "khalash,"

Sejak pagi itulah, aku mulai dekat dan sering komunikasi dengan pemuda berkulit kuning langsat itu. Namanya Amr, dan dia sudah tidak kuliah lagi layaknya kesibukanku setiap hari di Mesir. Menurutnya, dia juga sudah bertunangan dan segera akan menikah. Dia juga mengatakan kalau wanita yang sering datang membesuknya adalah calon istrinya. Sejak itulah keyakinan aku selama ini bahwa ia seorang Muslim pupus, padahal dulu kerap mendengar keluarganya melafazkan kata-kata Allah dan wallahi, alhamdulillah. Tentu aku saja aku mengira dia seorang Muslim. Setelah aku pikir-pikir, wanita membesuknya juga tidak menggenakan jilbab layaknya soerang Muslimah. Dan itu jugalah cara mudah membedakan antara Muslimah dan wanita Koptik di Mesir, dapat dikatakan sebagian mereka yang tidak berjilbab adalah umat Kristen Koptik.


Setelah aku mengetahui agamanya, aku semakin tertarik bergaul dan berkomunikasi aktif dengannya. Aku berharap bisa mengetahui banyak hal dari orang Koptik itu, sebab aku pikir tidak banyak warga asing yang mengetahui seluk-beluk umat Koptik di sini. Suatu pagi aku juga sempat dikenalkan Amr dengan ibu dan keluarganya. Mereka juga sangat ramah dan baik padaku. Tidak ada aku temukan gerak-gerik sentimen dari mereka, maupun para pasien lainnya kepada Amr di ruangan itu. Kendatipun sebagian besar pasien di ruangan itu mengetahui kalau Amr berasal dari keluarga Koptik. Namun tidak sama sekali membuat mereka memarjinal Amr, padahal dokter-dokter, perawat, sampai cleaning service adalah Muslim semua.

Ketika ada yang lagi shalat di ruang itu pun, kalau mereka lagi bercengkrama pasti mereka akan diam untuk sementara, aku atau pasien lain selesai shalat. Luar biasa. Karena ketika itu sudah bulan puasa, biasa kalau Amr mau makan pasti mengajak keluargannya ke luar dan duduk di bawah pohon. Sebab di ruang itu banyak juga pasien yang berpuasa. Aduh, aku melihat betapa toleran dan saling memahaminya keluarga Amr dengan pasien-pasien lainnya, dengan perbedaan kayakinan itu.

            Begitu juga dengan warga Mesir yang dirawat denganku, mereka juga tidak sungkan menawarkan Amr makanan sehabis dibesuk oleh keluarga mereka. Semua tampak harmonis dan menganggap keluarga. Aku masih ingat dengan ibu paruh baya yang berkeja sebagai cleaning service di RS itu, ibu itu dapat dikatan sering membuat onar di ruangan itu sehingga membuat para pasien terbangun. Biasanya kalau pagi Amr sudah bangun, dia suka tertawa bersamanya dengan bahasa Amiyyah, yang terkdang sulit aku cerna. Karena kondisi Amr yang letih, nasi dan kebutuhan Amr pasti dilengkapi lebih dulu oleh ibu itu, sungguh luar bisa kebaikan ibu paruh baya itu.

Selama dirawat disitu aku sunggu mendapatkan banyak pelajaran dan ibrah. Terlebih dari toleransi dan keharmonisan dalam keragaman. Terkadang banyak orang yang mengasumsikan bahwa perbedaan adalah permusuhan, yang harus diakhiri dengan sebuah perperangan. Jika ide semacam itu terus mewahana tentu tidak akan pernah tercipta ketenangan di bawah kolong langit ini. Aku merasa pengalaman sembilan hari di RS Ummayat sebagai tempat belajar yang cukup membuat tersedu. Aku hanya berharap suatu saat Amr diberikan hidayah oleh-Nya sehingga dapat bernaung dibawah tenda keislaman sebagaimana aku rasakan. Aku bangga dengan keislamanku.

Jelaslah apa yang Allah firmankan QS. Al-Baqarah: 256: "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelaslah (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkat kepara Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yagn sangat kuat yang tidak akan pernah putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." Begitu juga dengan firmanya pada QS. Al-Kâfirûn: 1-6: "Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak akan menyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu juga tidak akan pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku." [] Wallahu `alam bishawwab

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ass.
Saya mau tanya, sekarang saya baru mau masuk sma. Orangtua saya menyarankan untuk masuk sekolah negeri, padahal nilai ujian saya masih kurang untuk masuk sma negeri, dan orangtua saya ingin sekali saya masuk negeri karna biaya sekolah negeri lebih murah. Kalo saya tidak diterima disekolah itu, orang tua saya akan menyogok. Saya sebagai anak harus bagaimana? Padahalkan sogok menyogok itu termasuk hal yang berdosa. Mohon dibalas
Wasalam

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Free Samples